Jumat, 30 November 2012

sosio antro


PERIKLANAN DI INDONESIA

Identitas
                                      Nama                             : Sabila Khoiriyah
                                      NIM                      : 10203244010
                                      Prodi                     : Pendidika Bahsa Jerman
                                      Fakultas                : Fakultas Bahasa dan Seni
No. Handphone    : 085749073112

ABSTRAK
          Kegiatan periklanan, sebetulnya sudah dimulai sejak jaman peradaban Yunani kuno dan Romawi kuno, pada awalnya iklan dilakukan dalam bentuk pesan berantai atau disebut juga the word of mouth. Pada masa ini iklan hanyalah berupa surat edaran. Beberapa waktu kemudian barulah muncul metode periklanan yang ditulis dengan tangan dan dengan kertas yang lebih besar di Inggris.  Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret  1648. Sampai tahun 1850-an, di Eropa iklan belum sepenuhnya dimuat di surat kabar. Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur. Iklan majalah pertama muncul dalam majalah Harper tahun 1864.

            Di Indonesia iklan pertama yang diprakarsainya berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan suratkabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan, bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir  tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan.

            Tokoh perintis periklanan di Indonesia bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC.

Keyword : Iklan; Majalah; Produk.

A.    PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi  akal dan pikiran sehingga mampu berpikir. Dengan anugrah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk mulia, dimana makhluk lain tidak memiliki keistimewaan tersebut. Manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Manusia hidup memerlukan informasi untuk melanjutkan kehidupannya. Informasi di peroleh dari berbagai media, seperti radio, televisi, pamflet, koran, dan yang lebih canggih lagi berasal dari internet.
Promosi produk dan jasa melalui iklan sekarang ini seperti sudah menjadi suatu keharusan, bahkan muncul semacam kredo bahwa “iklan membuat produk anda menjadi ada”. Anggapannya kurang lebih menjadikan produk itu dikenal di tengah masyarakat, iklan menjadi sarana agar produk menjadi benar-benar “ada” di benak calon konsumen, lalu dibeli atau terbeli oleh konsumen. Hal itulah yang menjadikan agensi periklanan masa kini terus berpacu melahirkan iklan-iklan berdaya jual tinggi, kreativitas pun diadu.

Rumusan Masalah

1.      Apa iklan itu?
2.      Bagaimana sejarah iklan?
3.      Bagaimana perkembangan iklan di Indonesia?
4.      Bagaimana bahasa iklan di Indonesia?
5.      Apakah iklan di Indonesia memenuhi syarat?

B.     PEMBAHASAN

1.      IKLAN
Iklan atau dalam Bahasa Indonesia formalnya pariwara adalah promosi barang,jasa, perusahaan dan ide yang harus dibayar oleh sebuah sponsor.(wikipedia.2011.http). Pemasaran melihat iklan sebagai bagian dari strategi promosi secara keseluruhan. Komponen lainnya dari promosi termasuk publisitas, relasi publik, penjualan dan promosi penjualan. Iklan pertama yang diprakarsainya berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan suratkabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan, bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan

2.      SEJARAH IKLAN

Harus diakui, bahwa tokoh periklanan pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Toko ini bukan hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit dari Bataviasche Nouvelle, suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal.

Orang-orang Eropa yang pertama memiliki suratkabar di masa Hindia Belanda, maka dengan sendirinya bahasan mengenai tokoh-tokoh periklanan di Indonesia pun akan bertolak dari para warga negara asing ini. Lebih lagi, karena di masa Hindia Belanda, memang belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi-fungsi penerbit, percetakan dan perusahaan periklanan. Antara tahun 1868-1912, di Batavia saja, orang-orang Eropa ini telah memiliki 14 penerbitan pers.

Karena di masa itu setiap percetakan hanya mencetak satu penerbitan pers, maka berarti terdapat jumlah yang sama percetakan pers yang dimiliki oleh orang-orang Eropa atau keturunan Eropa. Penerbitan-penerbitan ini bervariasi dari yang berkala harian, mingguan, dwimingguan maupun bulanan.

Di luar Batavia, tercata 6 suratkabar yang terbit di Surabaya dan satu di Jawa Tengah. Ini pun semuanya dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Eropa. Pada perusahaan-perusahaan periklanan milik orang-orang Eropa itu, memang banyak juga dipekerjakan orang-orang Cina atau pribumi.

Tetapi dua kelompok terakhir ini hanya sebagai copywriter (penulis naskah) untuk perusahaan periklanannya, atau tenaga keredaksian di penerbitan pers mereka. Setelah orang-orang Eropa, orang-orang Cina atau keturunan Cina menjadi kelompok yang paling dominan menguasai periklanan. Sedangkan kelompok pribumi umumnya tidak memiliki sendiri percetakan atau penerbitan pers, ataupun hanya mengelola perusahaan-perusahaan periklanan yang relatif kecil.

Praktisi periklanan sebagai tenaga spesialis yang khusus didatangkan dari Belanda yang terkenal di zamannya adalah “tiga-serangkai”; F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor van Deutekom. Mereka ini didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Ketiga orang ini bergabung dalam Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat itu. Pada tahun 1901 salah satu dari anggota tiga-serangkai ini, Bemmel, diminta oleh redaktur suratkabar De Locomotief untuk mengelola perusahaan periklanan milik suratkabar tersebut, yang juga bernama De Locomotief. Suratkabar De Locomotief sendiri terbit sejak tahin 1870 di Semarang. Tahun 1902, hanya satu tahun sejak kedatangannya ke Batavia, Bemmel hengkang untuk mendirikan perusahaan periklanan sendiri. Perusahaan periklanan ini diberinya nama NV Overzeesche Handelsvereeniging. Perusahaan periklanan ini utamanya menangani produk-produk impor, seperti mobil dan sepeda.

Pada tahun 1910 Bemmel kembali ke negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu, namun di negeri Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya selama memiliki perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk mendirikan sebuah bank.

Tokoh periklanan pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang, yang menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar pribumi yang dapat bertahan agak lama (1914-1924).

Karir Tjokroamidjojo dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief pada tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita Betawi. Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang.

Perusahaan periklanan Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika. Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la Victoire, Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel Eropa di Hindia Belanda.

Laba usaha Sinar Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini. Padahal pada tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan Tjokroamidjojo hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total keuntungan senilai f. 200.000,-.

Joedoprajitno tercatat sebagai tokoh periklanan yang menonjol di Bandung. Karier pemilik dan pengelola perusahaan periklanan Jupiter ini dimulai ketika ia berusia 15 tahun di Mathew Rose, sebuah perusahaan batik dai Pekalongan. Perusahaan batik ini ditutup pada tahun 1930 karena bangkrut. Pada tahun yang sama Joedoprajitno mengambil ahli perusahaan tersebut beserta seluruh persediaan barangnya senilai f.40.000. Dua tahun kemudian baru ia mendirikan Jupiter. Kiat sukses bisnisnya yang terkenal dimuat di harian Sipatahoenan edisi 3 Juni 1936, yaitu:
Sikap sombong diboewang djaoe-djaoe; Haroes poenjaken Kesabaran dalem segala hal; dan Dengan apa kaoe aken bisa naek di tangga doenia.

Tokoh periklanan di tahun 1930-an adalah Hendromartono pemilik dan pengelola perusahaan periklanan Mardi Hoetomo di Semarang. Di daerahnya, ia terkenal sebagai praktisi yang merintis terciptanya iklan-iklan yang memberi nilai tambah pada produknya.

Hendromartono banyak belajar dari periklanan di luar negeri dan termasuk pakar periklanan yang aktif menulis di media cetak. Dia memulai karirnya tahun 1928, dan dua tahun kemudian menjadi staf ahli di perusahaan periklanan De Locomotief. Dia mendirikan perusahaan periklanan Mardi Hoetomo tahun 1933. Hendromartono tampaknya menjadi praktisi periklanan yang juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia yang menciptakan slogan “Boeng, Ayo Boeng’ pada tahun 1942. Mungkin karena hal tersebut dia harus menutup perusahaan periklanannya pada tahun 1942, ketika terjadi penyerbuan tentara Jepang. Slogan tersebut kemudian (tahun 1950) digunakan oleh salah satu perusahaan rokok di Jawa Timur.

               


3.      PERKEMBANGAN IKLAN DI INDONESIA

Perintis periklanan ini bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat.

Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..

MERINTIS PERIKLANAN DI TV

Keberadaan TV sebagai media baru di Indonesia sejak bulan Agustus 1962, telah merangsang Nuradi untuk juga menjadikannya wahan periklanan. InterVisa tercatat sebagai perintis masuknya iklan-iklan komersial di TVRI. Tahun 1963, tiga iklan pertama (yang masih berbentuk telop) di media ini, adalah untuk klien-klien berikut:
  • Hotel Tjipajung, yang kebetulan milik ayahnya sendiri.
  • PT Masayu, produsen alat-alat berat dan truk.
  • PT Arschoob Ramasita, yang dimiliki oleh Judith Roworuntu, sekaligus menjadi pembuat gambar untuk iklan-iklan InterVista.
Setahun setelah itu, muncul iklan skuter Lambretta. Tetapi kali ini, sudah digunakan bentuk slide, yang juga merupakan rintisan saat itu. Iklan Lambretta pun merupakan iklan pertama yang diproduksi untuk dapat ditampilkan di bioskop-bioskop. Ini merupakan prestasi tersendiri pula bagi InterVista.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada akar budidaya Indonesianya. Pendapat ini mungkin benar, kalau kita perhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti:
  • Produk susu kental manis; Indomilk …. sedaaap.
  • Produk bir; Bir Anker. Ini Bir Baru, Ini Baru Bir.
  • Produk rokok putih; Makin mesra dengan Mascot.
  • Produk skuter; Lebih baik naik Vespa.
Meskipun InterVista dianggap sebagai perusahaan periklanan modern pertama di Indonesia, namun ia ternyata bukanlah yang pertama melakukan kerjasama dengan perusahaan periklanan asing. Karena tahun 1960, Franklyn, perusahaan periklanan milik orang Belanda yang kemudian berganti nama menjadi Bhineka, sudah bekerjasama dengan Young & Rubicam, salah satu perusahaan periklanan raksasa dari Amerika.
Mengenai kerjasama dengan asing ini Nuradi merupakan salah satu tokoh yang sangat kuat mempertahankan ke-Indonesia-annya. “Ini bisa mengantjam pertumbuhan pers nasional”, katanya, dan “biro-biro iklan internasional yang berkeliaran di Jakarta dalam waktu dekat bisa memaksa pers di Indonesia mendjadi sematjam djuru-bitjara kaum industrialis besar”.
Pada saat itu, memang terjadi semacam gelombang “anti biro iklan asing” pada banyak perusahaan periklanan nasional. Peraturan Pemerintah yang melarang masuknya modal asing dalam industri periklanan pun sudah ada. Namun penggunaan tenaga asing masih dimungkinkan, meskipun terbatas pada tiga jabatan saja. Jabatan-jabatan yang dianggap belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga-tenaga Indonesia ini adalah Advertising Consultant (konsultan periklanan di perusahaan periklanan), Advertising Technical Adviser (penasehat teknis di perusahaan periklanan), dan Advertising Manager (manajer periklanan di perusahaan pengiklan).

Ironisnya, pada era-globalisasi dan meredanya “gelombang anti perusahaan periklanan asing” saat ini, justru jabatan Technical Adviser merupakan satu-satunya jabatan yang masih diijinkan. Mungkin suatu indikasi terjadinya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam industri periklanan nasional.
Selain Bhineka, perusahaan periklanan Fadjar Kamil juga menjalin kerjasama dengan Mc Cann-Erickson, perusahaan periklanan raksasa lain, yang juga dari Amerika Serikat. Namun sulitnya memperoleh tenaga terlatih, kemudian telah memaksa pula Nuradi dengan InterVisa-nya melunakkan sikap untuk bekerjasama dengan perusahaan asing. Kebetulan, dia memilih Mc Cann-Erickson juga sebagai mitranya. Sukses Nuradi, membawa InterVisa nyaris ke puncaknya, meskipun bukan dalam hal omset. Nuradi patut merasa bangga, bahwa InterVista tercatat sebagai perusahaan periklanan yang sangat disegani, dan unggul dalam hal mutu karya-karyanya.
           
POSISI IKLAN DI DUNIA KAPITALISME

1.       Iklan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh industri-idustri kapitalis untuk   menjamin distribusi komoditi kepada masyarakat secara luas.
2.       Kepentingan kapitalisme industrial ketika terjadi booming barang-barang produksi adalah menciptakan konsumen sehingga sejak era tahun 1780-an, iklan iklan betul-betul ditujukan untuk menciptakan konsumen secara serius.
3.      Pada abad ke-20 iklan pada umumnya muncul dengan citra-citra dan menggunakan tipe-tipe sueralisme, yang membuat orang membeli produk.
4.      Iklan juga diposisikan sebagai sebuah sales entertainment, dimana disatu sisi ia berusaha mempengaruhi khalayak dengan pesan penjualan, dan di sisi lain menyediakan hiburan bagi khalayak melalui citra-citra yang fiktif dan fantastis.


4.      BAHASA IKLAN DI INDONESIA

Membaca fenomena penggunaan bahasa saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Bahasa Indonesia yang diperjuangkan menjadi bahasa nasional kita oleh para pahlawan bangsa kita, menjadi tiada berarti saat ini. Hal ini disebabkan  karena telah dirusak dan dikotori oleh para generasi muda sendiri.
Melalui bahasa gaul, bahasa pop, bahasa gado-gado dan bahasa iklan para generasi kita begitu cepat melupakan dan meninggalkan apa yang menjadi bahasa Indonesia. Generasi muda kita begitu cepat terkena pengaruh bahasa-bahasa yang “unik” di telinga mereka. Tanpa peduli itu bahasa baku atau tidak, mereka menggunakan itu dalam keseharian mereka.
Karena sudah menjadi kebiasaan yang mengasyikkan itulah, seakan-akan mereka lebih ”wuaah” jika menggunakan bahasa-bahasa diatas daripada menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar. Akibatnya mereka tidak bisa memperhatikan juga yang mana bahasa yang sesuai dengan EYD dan aturan baku bahasa Indonesia. Kita bisa melihat seperti kata-kata : “so what gitu looooh”, ”emang gue pikirin”, ”mamamia lezatos” dan lain-lain.
Promosi produk dan jasa melalui iklan sekarang ini seperti sudah menjadi suatu keharusan, bahkan muncul semacam kredo bahwa “iklan membuat produk anda menjadi ada”. Anggapannya kurang lebih menjadikan produk itu dikenal di tengah masyarakat, iklan menjadi sarana agar produk menjadi benar-benar “ada” di benak calon konsumen, lalu dibeli/terbeli oleh konsumen.
Sungguh saya salut kepada orang-orang kreatif yang mencipta iklan semacam itu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara mereka mencari ide nan dahsyat untuk kemudian dieksekusi. Tapi, mohon maaf juga, sebab rasa-rasanya kok iklan ini kurang ajar, kenapa? Karena iklan tersebut juga punya kecenderungan untuk menipu khalayak pengakes media, dimana khalayak membutuhkan suatu informasi dengan nilai kebenaran, bukan rekayasa.
Untuk iklan undian Britama, disadari atau tidak iklan ini telah memanfaatkan momentum banyaknya bencana yang melanda Indonesia dan menghiasi media massa kita belakangan ini. Dengan begitu, orang kembali dibuat deg- degan saat pertama kali melihat visualisasi mobil jatuh di atap rumah itu. Selain mobil yang jatuh di atap rumah tadi, iklan ini juga punya versi lainnya, seperti mobil yang jatuh di halaman parkir, dan nyangkut di pohon.
Waktu pertama kali melihat foto mobil yang ada di atap rumah itu, saya langsung teringat peristiwa tsunami di Aceh, dalam hati saya membatin, “Astaga, bencana apalagi ini?”  ternyata saya kena tipu! Bapak saya pun barungeh kalo itu hanya rekayasa dan iklan setelah saya kasih tunjuk tulisan “Iklan” kecil di bagian atasnya dan nama wartawannya yang mirip nama sebuah bank.



5.     Periklanan di Indonesia
Jumlah tayangan iklan-iklan komersial dewasa ini semakin meningkat, baik di media massa konvensional (televisi, radio, koran, majalah, dsb) maupun di media non konvensional. Iklan kini telah digunakan sebagai main campaign atau kampanye utama dalam memasarkan suatu produk atau jasa. Para pemasar pun tidak segan-segan mengeluaran uang berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar hanya agar produk mereka di kenal oleh audiens atau masyarakat luas. Sebab, mereka beranggapan bahwa iklan adalah alat yang paling efektif untuk membujuk audiens agar menentukan suatu pilihan kepada merek produk tertentu.

Sebagai ujung tombak dalam komunikasi pemasaran, iklan memiliki peranan yang sangat penting. Oleh sebab itu, dalam iklim kompetisi bisnis seperti sekarang ini, tidaklah mengherankan apabila iklan sering disalahgunakan. Maksudnya adalah iklan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya tidak normatif atau menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Tata Krama Asosiasi Profesi. Hal ini diperkuat dengan beberapa kasus pelanggaran iklan yang temuan oleh Komisi Periklanan Indonesia (KPI) yang bernaung di bawah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Kasus pelanggaran tersebut banyak terdapat pada iklan-iklan produk-produk kesehatan, baik itu obat, suplemen, minuman kesegaran, ataupun produk-produk lainnya. Melihat kenyataan di atas, seharusnya audiens bisa lebih bersikap kritis dalam membaca iklan. Sebab hingga saat ini, masih banyak iklan yang diduga telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia. Contohnya : iklan susu anak versi “anak menggendong ayahnya”. Dalam iklan tersebut, digambarkan seorang anak kecil yang bisa menggendong ayahnya karena minum susu yang diiklankan. Adegan tersebut jelas memberi edukasi negatif kepada audiens khususnya anak-anak. Sebab dalam Etika Pariwara Indonesia telah ditegaskan bahwa iklan dilarang menampilkan adegan yang tidak pantas dilakukan oleh anak-anak. Setelah dikritik oleh beberapa pihak, seperti Komnas Perlindungan Anak, akhirnya iklan tersebut direvisi. Lalu dalam versi perbaikannya, adegan “anak yang menggendong ayahnya” dihilangkan.

Contoh lain adalah kasus iklan cetak Benadryl CM dan Benadryl DMP. Unsur kesalahan utama dalam iklan tersebut terletak pada penggunaan alat medis berupa stetoskop sebagai background. Hal ini jelas telah melanggar ketentuan yang ada dalam Etika Pariwara Indonesia Bab III bagian A ayat 2 butir 2.3.4., yang berbunyi bahwa “Iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran, rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi kesehatan seperti dokter, perawat, farmasis, laboratoris, dan pihak-pihak yang mewakili profesi kesehatan, beserta segala atribut, maupun yang berkonotasi profesi kesehatan”. Selain itu, iklan tersebut juga telah melanggar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 368/Men.Kes/SK/IV/1994, tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Petunjuk Teknis A ayat 10, yang menyatakan bahwa “iklan obat tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium”. Iklan obat juga tidak boleh memberikan pernyataan yang bersifat superlatif atau komparatif tentang indikasi, kegunaan atau manfaat obat.

Oleh sebab itu, Etika Pariwara Indonesia harus ditegakkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya bangsa dan kepentingan masyarakat luas seiring maraknya sikap individualis dan materialis sebagai dampak dari modernisasi. Kesadaran menerapkan tatanan etika dengan mengacu pada Etika Pariwara Indonesia adalah wujud pemberdayaan pelaku dan industri periklanan sendiri untuk ikut melindungi budaya bangsa . Etika Pariwara Indonesia harus menjadi pedoman utama bagi para pelaku dalam industri periklanan, sehingga hasil kerja mereka bisa sesuai dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Sebagai pendukungnya, partisipasi dari berbagai pihak juga sangat diperlukan. Produsen harus memberikan data dan informasi yang benar tentang produknya kepada biro iklan. Sedangkan biro iklan menyajikan data dan informasi tersebut melalui kreativitasnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Media massa berperan menyaring iklan yang akan ditayangkan. Selain itu, sejumlah asosiasi pendukung Etika Pariwara Indonesia, juga berperan dalam memberi masukan dan kritikan terhadap proses penegakan Etika Pariwara Indonesia. Namun yang terpenting adalah peran konsumen sendiri. Sebab, pada dasarnya iklan hanya memberi preferensi dalam menentukan keputusan pembelian

C.    PENUTUP
Masyarakat harus lebih cerdas dari bahasa iklan. Pendapat itu harusnya bisa membuat kita lebih berhati-hati dalam menyikapi bahasa dan imej iklan, karena sejatinya iklan ada untuk membujuk, merayu, dan menjual. Kasarnya, tujuan iklan itu hanya ada dua: Beli! Konsumsi!

Saya tidak bermaksud menyerukan anti konsumerisme, karena pada masyarakat kontemporer era globalisasi dan homogenisasi sekarang ini celah untuk menghindari konsumerisme hampir tidak ada, tidak banyak orang yang punya kuasa untuk menolak atau tegas berkata emoh dan wegah. Tetapi kita seharusnya bisa lebih “waspada” terhadap bahasa, citra, atau imej yang disajikan oleh iklan. Menjadi konsumen karena bujukan iklan masih termasuk wajar, namun jika menjadi korban karena terkena sihir iklan, sungguh tidak enak rasanya.

DAFTAR PUSTAKA

2008. Perlunya Penegakan Etika Periklanan Indonesia (EPI). diakses dari http://sentuhankata.blogspot.com/2008/06/perlunya-penegakan-etika-periklanan.html, pada hari Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 21.19

FX Ridwan Handoyo, 2011. Dasar-dasar Etika Periklanan - Bagian 2. diakses dari file:///D:/Meiner%20arbeit/sosio/Dasar-dasar%20Etika%20Periklanan%20-%20Bagian%202.htm, pada hari Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 21.32

Kasali, Rhenald. Manajeman Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utami Grafiti

Sunarso,dkk, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta: UNY Pers

Muhammad Asrori, 2007. Psikologi Pembelajaran. CV Wacana Prima: Bandung

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004. Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Di akses dari file:///D:/Meiner%20arbeit/sosio/Undang%20Undang%20Republik%20Indonesia%20Tentang%20Teknologi%20Komunikasi%20dan%20Informasi.htm, pada hari Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 22.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar