PERIKLANAN DI INDONESIA
Identitas
Nama : Sabila Khoiriyah
NIM :
10203244010
Prodi :
Pendidika Bahsa Jerman
Fakultas :
Fakultas Bahasa dan Seni
No.
Handphone : 085749073112
ABSTRAK
Kegiatan
periklanan, sebetulnya sudah dimulai sejak jaman peradaban Yunani kuno dan
Romawi kuno, pada awalnya iklan dilakukan dalam bentuk pesan berantai atau
disebut juga the word of mouth. Pada masa ini iklan hanyalah berupa surat edaran.
Beberapa waktu kemudian barulah muncul metode periklanan yang ditulis dengan
tangan dan dengan kertas yang lebih besar di Inggris. Iklan pertama yang dicetak di Inggris
ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret
1648. Sampai tahun 1850-an, di Eropa iklan belum sepenuhnya dimuat di surat
kabar.
Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur. Iklan majalah pertama
muncul dalam majalah Harper tahun 1864.
Di Indonesia iklan pertama yang
diprakarsainya berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan
dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan
penerbitan suratkabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen
membuktikan, bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan
iklan tidak ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode
dan teknik periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan
penerbitan pers di Indonesia, sebenarnya lahir
tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau memiliki
saling ketergantungan.
Tokoh perintis periklanan di
Indonesia bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926.
Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh
pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar
Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak
mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama
yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC.
Keyword
: Iklan; Majalah; Produk.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi
akal dan pikiran sehingga mampu berpikir. Dengan anugrah itulah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk mulia, dimana makhluk lain tidak memiliki keistimewaan
tersebut. Manusia juga merupakan makhluk sosial yang tidak mampu untuk hidup
sendiri. Manusia hidup memerlukan informasi untuk melanjutkan kehidupannya.
Informasi di peroleh dari berbagai media, seperti radio, televisi, pamflet,
koran, dan yang lebih canggih lagi berasal dari internet.
Promosi produk dan jasa melalui iklan sekarang ini
seperti sudah menjadi suatu keharusan, bahkan muncul semacam kredo bahwa “iklan
membuat produk anda menjadi ada”. Anggapannya kurang lebih menjadikan produk
itu dikenal di tengah masyarakat, iklan menjadi sarana agar produk menjadi
benar-benar “ada” di benak calon konsumen, lalu dibeli atau terbeli oleh
konsumen. Hal itulah yang menjadikan agensi periklanan masa kini terus berpacu
melahirkan iklan-iklan berdaya jual tinggi, kreativitas pun diadu.
Rumusan Masalah
1. Apa
iklan itu?
2. Bagaimana
sejarah iklan?
3. Bagaimana
perkembangan iklan di Indonesia?
4. Bagaimana
bahasa iklan di Indonesia?
5. Apakah
iklan di Indonesia memenuhi syarat?
B.
PEMBAHASAN
1.
IKLAN
Iklan atau dalam
Bahasa Indonesia formalnya pariwara adalah promosi barang,jasa, perusahaan dan ide yang
harus dibayar oleh sebuah sponsor.(wikipedia.2011.http). Pemasaran melihat
iklan sebagai bagian dari strategi promosi secara keseluruhan. Komponen lainnya
dari promosi termasuk publisitas,
relasi publik, penjualan dan promosi penjualan. Iklan pertama yang diprakarsainya berupa
pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan
pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan suratkabar
pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan, bahwa pada
hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak ada bedanya.
Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik periklanan.
Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di Indonesia,
sebenarnya lahir tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling membutuhkan atau
memiliki saling ketergantungan
2.
SEJARAH
IKLAN
Harus diakui, bahwa tokoh periklanan pertama di Indonesia
adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang menjadi Gubernur
Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Toko ini bukan hanya bertindak
sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan
dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit dari Bataviasche
Nouvelle, suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad
setelah J.P. Coen meninggal.
Orang-orang Eropa
yang pertama memiliki suratkabar di masa Hindia Belanda, maka dengan sendirinya
bahasan mengenai tokoh-tokoh periklanan di Indonesia pun akan bertolak dari
para warga negara asing ini. Lebih lagi, karena di masa Hindia Belanda, memang
belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi-fungsi penerbit, percetakan dan
perusahaan periklanan. Antara tahun 1868-1912, di Batavia saja, orang-orang
Eropa ini telah memiliki 14 penerbitan pers.
Karena di masa itu
setiap percetakan hanya mencetak satu penerbitan pers, maka berarti terdapat
jumlah yang sama percetakan pers yang dimiliki oleh orang-orang Eropa atau
keturunan Eropa. Penerbitan-penerbitan ini bervariasi dari yang berkala harian,
mingguan, dwimingguan maupun bulanan.
Di luar Batavia,
tercata 6 suratkabar yang terbit di Surabaya dan satu di Jawa Tengah. Ini pun
semuanya dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Eropa. Pada
perusahaan-perusahaan periklanan milik orang-orang Eropa itu, memang banyak
juga dipekerjakan orang-orang Cina atau pribumi.
Tetapi dua kelompok
terakhir ini hanya sebagai copywriter (penulis naskah) untuk perusahaan
periklanannya, atau tenaga keredaksian di penerbitan pers mereka. Setelah
orang-orang Eropa, orang-orang Cina atau keturunan Cina menjadi kelompok yang
paling dominan menguasai periklanan. Sedangkan kelompok pribumi umumnya tidak
memiliki sendiri percetakan atau penerbitan pers, ataupun hanya mengelola
perusahaan-perusahaan periklanan yang relatif kecil.
Praktisi periklanan
sebagai tenaga spesialis yang khusus didatangkan dari Belanda yang terkenal di
zamannya adalah “tiga-serangkai”; F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor
van Deutekom. Mereka ini didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum
Maatschappij) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka.
Ketiga orang ini bergabung dalam Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat
itu. Pada tahun 1901 salah satu dari anggota tiga-serangkai ini, Bemmel,
diminta oleh redaktur suratkabar De Locomotief untuk mengelola perusahaan
periklanan milik suratkabar tersebut, yang juga bernama De Locomotief.
Suratkabar De Locomotief sendiri terbit sejak tahin 1870 di Semarang. Tahun
1902, hanya satu tahun sejak kedatangannya ke Batavia, Bemmel hengkang untuk
mendirikan perusahaan periklanan sendiri. Perusahaan periklanan ini diberinya
nama NV Overzeesche Handelsvereeniging. Perusahaan periklanan ini utamanya
menangani produk-produk impor, seperti mobil dan sepeda.
Pada tahun 1910
Bemmel kembali ke negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu,
namun di negeri Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya
selama memiliki perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk
mendirikan sebuah bank.
Tokoh periklanan
pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia
memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang,
yang menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar
pribumi yang dapat bertahan agak lama (1914-1924).
Karir Tjokroamidjojo
dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief
pada tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita
Betawi. Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari
hasil perusahaan batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di
Semarang.
Perusahaan periklanan
Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia
Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika.
Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la
Victoire, Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat
timbal-balik. Yang utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan
Amerika. Namun juga untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api,
ataupun hotel-hotel Eropa di Hindia Belanda.
Laba usaha Sinar
Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena
dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini.
Padahal pada tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan
Tjokroamidjojo hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total
keuntungan senilai f. 200.000,-.
Joedoprajitno tercatat sebagai tokoh periklanan yang menonjol
di Bandung. Karier pemilik dan pengelola perusahaan periklanan Jupiter ini
dimulai ketika ia berusia 15 tahun di Mathew Rose, sebuah perusahaan batik dai
Pekalongan. Perusahaan batik ini ditutup pada tahun 1930 karena bangkrut. Pada
tahun yang sama Joedoprajitno mengambil ahli perusahaan tersebut beserta
seluruh persediaan barangnya senilai f.40.000. Dua tahun kemudian baru ia
mendirikan Jupiter. Kiat sukses bisnisnya yang terkenal dimuat di harian Sipatahoenan
edisi 3 Juni 1936, yaitu:
Sikap sombong diboewang djaoe-djaoe; Haroes poenjaken Kesabaran dalem segala hal; dan Dengan apa kaoe aken bisa naek di tangga doenia.
Sikap sombong diboewang djaoe-djaoe; Haroes poenjaken Kesabaran dalem segala hal; dan Dengan apa kaoe aken bisa naek di tangga doenia.
Tokoh periklanan di
tahun 1930-an adalah Hendromartono pemilik dan pengelola
perusahaan periklanan Mardi Hoetomo di Semarang. Di daerahnya, ia terkenal
sebagai praktisi yang merintis terciptanya iklan-iklan yang memberi nilai
tambah pada produknya.
Hendromartono banyak
belajar dari periklanan di luar negeri dan termasuk pakar periklanan yang aktif
menulis di media cetak. Dia memulai karirnya tahun 1928, dan dua tahun kemudian
menjadi staf ahli di perusahaan periklanan De Locomotief. Dia mendirikan
perusahaan periklanan Mardi Hoetomo tahun 1933. Hendromartono tampaknya menjadi
praktisi periklanan yang juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia yang
menciptakan slogan “Boeng, Ayo Boeng’ pada tahun 1942. Mungkin karena hal
tersebut dia harus menutup perusahaan periklanannya pada tahun 1942, ketika
terjadi penyerbuan tentara Jepang. Slogan tersebut kemudian (tahun 1950)
digunakan oleh salah satu perusahaan rokok di Jawa Timur.
3. PERKEMBANGAN
IKLAN DI INDONESIA
Perintis periklanan
ini bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti
juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan
formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri
Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam
pendidikan di Amerika Serikat.
Perjalanan hidup
Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management
Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di
Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui
cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia
mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..
MERINTIS PERIKLANAN DI TV
Keberadaan TV sebagai
media baru di Indonesia sejak bulan Agustus 1962, telah merangsang Nuradi untuk
juga menjadikannya wahan periklanan. InterVisa tercatat sebagai perintis
masuknya iklan-iklan komersial di TVRI. Tahun 1963, tiga iklan pertama (yang
masih berbentuk telop) di media ini, adalah untuk klien-klien berikut:
- Hotel
Tjipajung, yang kebetulan milik ayahnya sendiri.
- PT
Masayu, produsen alat-alat berat dan truk.
- PT
Arschoob Ramasita, yang dimiliki oleh Judith Roworuntu, sekaligus menjadi
pembuat gambar untuk iklan-iklan InterVista.
Setahun setelah itu, muncul iklan skuter Lambretta.
Tetapi kali ini, sudah digunakan bentuk slide, yang juga merupakan rintisan
saat itu. Iklan Lambretta pun merupakan iklan pertama yang diproduksi
untuk dapat ditampilkan di bioskop-bioskop. Ini merupakan prestasi
tersendiri pula bagi InterVista.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru
pada akar budidaya Indonesianya. Pendapat ini mungkin benar, kalau kita
perhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti:
- Produk
susu kental manis; Indomilk …. sedaaap.
- Produk
bir; Bir Anker. Ini Bir Baru, Ini Baru Bir.
- Produk
rokok putih; Makin mesra dengan Mascot.
- Produk
skuter; Lebih baik naik Vespa.
Meskipun InterVista dianggap sebagai perusahaan
periklanan modern pertama di Indonesia, namun ia ternyata bukanlah yang pertama
melakukan kerjasama dengan perusahaan periklanan asing. Karena tahun 1960,
Franklyn, perusahaan periklanan milik orang Belanda yang kemudian berganti nama
menjadi Bhineka, sudah bekerjasama dengan Young & Rubicam, salah satu
perusahaan periklanan raksasa dari Amerika.
Mengenai kerjasama dengan asing ini Nuradi merupakan
salah satu tokoh yang sangat kuat mempertahankan ke-Indonesia-annya. “Ini
bisa mengantjam pertumbuhan pers nasional”, katanya, dan “biro-biro iklan
internasional yang berkeliaran di Jakarta dalam waktu dekat bisa memaksa pers
di Indonesia mendjadi sematjam djuru-bitjara kaum industrialis besar”.
Pada saat itu, memang terjadi semacam gelombang “anti
biro iklan asing” pada banyak perusahaan periklanan nasional. Peraturan
Pemerintah yang melarang masuknya modal asing dalam industri periklanan pun
sudah ada. Namun penggunaan tenaga asing masih dimungkinkan, meskipun terbatas
pada tiga jabatan saja. Jabatan-jabatan yang dianggap belum sepenuhnya dapat
diisi oleh tenaga-tenaga Indonesia ini adalah Advertising Consultant
(konsultan periklanan di perusahaan periklanan), Advertising Technical Adviser
(penasehat teknis di perusahaan periklanan), dan Advertising Manager (manajer
periklanan di perusahaan pengiklan).
Ironisnya, pada era-globalisasi dan meredanya
“gelombang anti perusahaan periklanan asing” saat ini, justru jabatan Technical
Adviser merupakan satu-satunya jabatan yang masih diijinkan. Mungkin suatu
indikasi terjadinya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam
industri periklanan nasional.
Selain Bhineka, perusahaan periklanan Fadjar Kamil
juga menjalin kerjasama dengan Mc Cann-Erickson, perusahaan periklanan raksasa
lain, yang juga dari Amerika Serikat. Namun sulitnya memperoleh tenaga
terlatih, kemudian telah memaksa pula Nuradi dengan InterVisa-nya melunakkan
sikap untuk bekerjasama dengan perusahaan asing. Kebetulan, dia memilih Mc
Cann-Erickson juga sebagai mitranya. Sukses Nuradi, membawa InterVisa nyaris ke
puncaknya, meskipun bukan dalam hal omset. Nuradi patut merasa bangga, bahwa
InterVista tercatat sebagai perusahaan periklanan yang sangat disegani, dan
unggul dalam hal mutu karya-karyanya.
POSISI IKLAN DI DUNIA KAPITALISME
1.
Iklan menjadi salah satu sarana yang digunakan
oleh industri-idustri kapitalis untuk menjamin
distribusi komoditi kepada masyarakat secara luas.
2.
Kepentingan kapitalisme industrial ketika
terjadi booming barang-barang produksi adalah menciptakan konsumen sehingga
sejak era tahun 1780-an, iklan iklan betul-betul ditujukan untuk menciptakan
konsumen secara serius.
3.
Pada
abad ke-20 iklan pada umumnya muncul dengan citra-citra dan menggunakan
tipe-tipe sueralisme, yang membuat orang membeli produk.
4.
Iklan
juga diposisikan sebagai sebuah sales entertainment, dimana disatu sisi ia
berusaha mempengaruhi khalayak dengan pesan penjualan, dan di sisi lain menyediakan
hiburan bagi khalayak melalui citra-citra yang fiktif dan fantastis.
4. BAHASA
IKLAN DI INDONESIA
Membaca fenomena penggunaan bahasa saat ini sungguh
sangat memprihatinkan. Bahasa Indonesia yang diperjuangkan menjadi bahasa
nasional kita oleh para pahlawan bangsa kita, menjadi tiada berarti saat ini.
Hal ini disebabkan karena telah dirusak dan dikotori oleh para generasi
muda sendiri.
Melalui bahasa gaul, bahasa pop, bahasa gado-gado dan
bahasa iklan para generasi kita begitu cepat melupakan dan meninggalkan apa
yang menjadi bahasa Indonesia. Generasi muda kita begitu cepat terkena pengaruh
bahasa-bahasa yang “unik” di telinga mereka. Tanpa peduli itu bahasa baku atau
tidak, mereka menggunakan itu dalam keseharian mereka.
Karena sudah menjadi kebiasaan yang mengasyikkan
itulah, seakan-akan mereka lebih ”wuaah” jika menggunakan bahasa-bahasa diatas
daripada menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar. Akibatnya mereka
tidak bisa memperhatikan juga yang mana bahasa yang sesuai dengan EYD dan aturan
baku bahasa Indonesia. Kita bisa melihat seperti kata-kata : “so what gitu
looooh”, ”emang gue pikirin”, ”mamamia lezatos” dan lain-lain.
Promosi produk dan jasa melalui iklan sekarang ini
seperti sudah menjadi suatu keharusan, bahkan muncul semacam kredo bahwa “iklan
membuat produk anda menjadi ada”. Anggapannya kurang lebih menjadikan produk
itu dikenal di tengah masyarakat, iklan menjadi sarana agar produk menjadi
benar-benar “ada” di benak calon konsumen, lalu dibeli/terbeli oleh konsumen.
Sungguh saya salut kepada
orang-orang kreatif yang mencipta iklan semacam itu. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana cara mereka mencari ide nan dahsyat untuk kemudian
dieksekusi. Tapi, mohon maaf juga, sebab rasa-rasanya kok iklan ini kurang
ajar, kenapa? Karena iklan tersebut juga punya kecenderungan untuk menipu
khalayak pengakes media, dimana khalayak membutuhkan suatu informasi dengan
nilai kebenaran, bukan rekayasa.
Untuk iklan undian Britama,
disadari atau tidak iklan ini telah memanfaatkan momentum banyaknya bencana
yang melanda Indonesia dan menghiasi media massa kita belakangan ini. Dengan
begitu, orang kembali dibuat deg- degan saat pertama kali
melihat visualisasi mobil jatuh di atap rumah itu. Selain mobil yang jatuh di
atap rumah tadi, iklan ini juga punya versi lainnya, seperti mobil yang jatuh
di halaman parkir, dan nyangkut di pohon.
Waktu pertama kali melihat foto
mobil yang ada di atap rumah itu, saya langsung teringat peristiwa tsunami di
Aceh, dalam hati saya membatin, “Astaga, bencana apalagi ini?” ternyata
saya kena tipu! Bapak saya pun barungeh kalo itu hanya rekayasa dan
iklan setelah saya kasih tunjuk tulisan “Iklan” kecil di bagian atasnya dan
nama wartawannya yang mirip nama sebuah bank.
5. Periklanan
di Indonesia
Jumlah tayangan iklan-iklan
komersial dewasa ini semakin meningkat, baik di media massa konvensional
(televisi, radio, koran, majalah, dsb) maupun di media non konvensional. Iklan
kini telah digunakan sebagai main campaign atau kampanye utama dalam memasarkan
suatu produk atau jasa. Para pemasar pun tidak segan-segan mengeluaran uang
berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar hanya agar produk mereka di kenal oleh
audiens atau masyarakat luas. Sebab, mereka beranggapan bahwa iklan adalah alat
yang paling efektif untuk membujuk audiens agar menentukan suatu pilihan kepada
merek produk tertentu.
Sebagai ujung tombak
dalam komunikasi pemasaran, iklan memiliki peranan yang sangat penting. Oleh
sebab itu, dalam iklim kompetisi bisnis seperti sekarang ini, tidaklah
mengherankan apabila iklan sering disalahgunakan. Maksudnya adalah iklan
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya tidak normatif atau
menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, maupun Tata Krama Asosiasi Profesi. Hal ini diperkuat dengan
beberapa kasus pelanggaran iklan yang temuan oleh Komisi Periklanan Indonesia
(KPI) yang bernaung di bawah Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI).
Kasus pelanggaran tersebut banyak terdapat pada iklan-iklan produk-produk
kesehatan, baik itu obat, suplemen, minuman kesegaran, ataupun produk-produk
lainnya. Melihat kenyataan di atas, seharusnya audiens bisa lebih bersikap
kritis dalam membaca iklan. Sebab hingga saat ini, masih banyak iklan yang
diduga telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia.
Contohnya : iklan susu anak versi “anak menggendong ayahnya”. Dalam iklan
tersebut, digambarkan seorang anak kecil yang bisa menggendong ayahnya karena
minum susu yang diiklankan. Adegan tersebut jelas memberi edukasi negatif
kepada audiens khususnya anak-anak. Sebab dalam Etika Pariwara Indonesia telah
ditegaskan bahwa iklan dilarang menampilkan adegan yang tidak pantas dilakukan oleh
anak-anak. Setelah dikritik oleh beberapa pihak, seperti Komnas Perlindungan
Anak, akhirnya iklan tersebut direvisi. Lalu dalam versi perbaikannya, adegan
“anak yang menggendong ayahnya” dihilangkan.
Contoh lain adalah
kasus iklan cetak Benadryl CM dan Benadryl DMP. Unsur kesalahan utama dalam
iklan tersebut terletak pada penggunaan alat medis berupa stetoskop sebagai
background. Hal ini jelas telah melanggar ketentuan yang ada dalam Etika
Pariwara Indonesia Bab III bagian A ayat 2 butir 2.3.4., yang berbunyi bahwa
“Iklan tidak boleh menggambarkan atau menimbulkan kesan pemberian anjuran,
rekomendasi, atau keterangan tentang penggunaan obat tertentu oleh profesi
kesehatan seperti dokter, perawat, farmasis, laboratoris, dan pihak-pihak yang
mewakili profesi kesehatan, beserta segala atribut, maupun yang berkonotasi
profesi kesehatan”. Selain itu, iklan tersebut juga telah melanggar Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 368/Men.Kes/SK/IV/1994, tentang Pedoman Periklanan
Obat Bebas, Petunjuk Teknis A ayat 10, yang menyatakan bahwa “iklan obat tidak
boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai
profesi kesehatan dan atau menggunakan setting yang beratribut profesi
kesehatan dan laboratorium”. Iklan obat juga tidak boleh memberikan pernyataan
yang bersifat superlatif atau komparatif tentang indikasi, kegunaan atau
manfaat obat.
Oleh sebab itu, Etika
Pariwara Indonesia harus ditegakkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga budaya
bangsa dan kepentingan masyarakat luas seiring maraknya sikap individualis dan
materialis sebagai dampak dari modernisasi. Kesadaran menerapkan tatanan etika
dengan mengacu pada Etika Pariwara Indonesia adalah wujud pemberdayaan pelaku
dan industri periklanan sendiri untuk ikut melindungi budaya bangsa . Etika
Pariwara Indonesia harus menjadi pedoman utama bagi para pelaku dalam industri
periklanan, sehingga hasil kerja mereka bisa sesuai dengan nilai dan norma yang
dianut masyarakat. Sebagai pendukungnya, partisipasi dari berbagai pihak juga
sangat diperlukan. Produsen harus memberikan data dan informasi yang benar
tentang produknya kepada biro iklan. Sedangkan biro iklan menyajikan data dan
informasi tersebut melalui kreativitasnya dengan memperhatikan situasi dan
kondisi masyarakat. Media massa berperan menyaring iklan yang akan ditayangkan.
Selain itu, sejumlah asosiasi pendukung Etika Pariwara Indonesia, juga berperan
dalam memberi masukan dan kritikan terhadap proses penegakan Etika Pariwara
Indonesia. Namun yang terpenting adalah peran konsumen sendiri. Sebab, pada
dasarnya iklan hanya memberi preferensi dalam menentukan keputusan pembelian
C. PENUTUP
Masyarakat harus
lebih cerdas dari bahasa iklan. Pendapat itu harusnya bisa membuat kita lebih
berhati-hati dalam menyikapi bahasa dan imej iklan, karena sejatinya iklan ada
untuk membujuk, merayu, dan menjual. Kasarnya, tujuan iklan itu hanya ada
dua: Beli! Konsumsi!
Saya tidak bermaksud menyerukan
anti konsumerisme, karena pada masyarakat kontemporer era globalisasi dan
homogenisasi sekarang ini celah untuk menghindari konsumerisme hampir tidak
ada, tidak banyak orang yang punya kuasa untuk menolak atau tegas berkata emoh dan wegah.
Tetapi kita seharusnya bisa lebih “waspada” terhadap bahasa, citra, atau imej
yang disajikan oleh iklan. Menjadi konsumen karena bujukan iklan masih termasuk
wajar, namun jika menjadi korban karena terkena sihir iklan, sungguh tidak enak
rasanya.
DAFTAR PUSTAKA
2008.
Perlunya Penegakan Etika Periklanan Indonesia (EPI). diakses dari http://sentuhankata.blogspot.com/2008/06/perlunya-penegakan-etika-periklanan.html,
pada hari Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 21.19
FX Ridwan Handoyo, 2011. Dasar-dasar
Etika Periklanan - Bagian 2. diakses dari file:///D:/Meiner%20arbeit/sosio/Dasar-dasar%20Etika%20Periklanan%20-%20Bagian%202.htm,
pada hari
Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 21.32
Kasali, Rhenald. Manajeman Periklanan: Konsep
dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utami Grafiti
Sunarso,dkk, 2008. Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta:
UNY Pers
Muhammad Asrori, 2007. Psikologi Pembelajaran.
CV Wacana Prima: Bandung
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2004. Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Di akses dari file:///D:/Meiner%20arbeit/sosio/Undang%20Undang%20Republik%20Indonesia%20Tentang%20Teknologi%20Komunikasi%20dan%20Informasi.htm,
pada
hari Senin tanggal 5 Desember tahun 2011 pukul 22.13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar